Agama menjelang politik

Hasil gambar untuk agama politik


            Tahun 2019 tepat pada bulan april tanggal 17 nanti merupakan puncak dari tahun politik untuk melengserkan kabinet kerja yang dilatik pada 2014 lalu. Isu hari ini di negeri yang kita cintai ini melakukan pemilihan serentak bukan hanya memilih presiden dan wakil presiden saja, tetapi pemilihan legislatif lainnya.
            Hadirnya dua putra terbaik negeri menjadi salah satu paslon untuk mengemban jabatan kepresidenan dan menahkodai negera kepulauan ini. Ada beberapa fenomena yang sangat menarik ketika pentas demokrasi di negara ini berlangsung. Salah satunya adalah setiap pribadi bangsa ini akan memilih dan menilai paslon mana yang lebih agamis, lebih religius. Sehingga label ini yang akan menentukan suara masyarakat kita.
            Fenomena berikutnya adalah bermunculan banyak kiyai-kiyai dadakan yang berorasi tentang agama dengan lihainya padahal ia tidak meniti pendidikan keagamaan dari pesantren pada umumnya. Ini memang mafhum akan terjadi, karena negeri ini merupakan negeri yang berketuhanan sesuai dengan dasar negara ini pada sila pertama -disarikan dari pendapat sahabat Erwansah pada diskusi kenegaraan agama menjelang politk pada 03 april 2019 PMII Komisariat IIQ An Nur Yogyakarta- dengan menebar teks keagamaan yang di pahami seadanya untuk menentukan suara masyarakat.
            Politik merupakan sebuah konsep. Agama pun merupakan sebuah konsep. Kebudayaan tercipta atas dasar Agama, dan Agama tidak terlepas dari kebudayaan. Hari ini yang terjadi adalah narasi ekstrimis bermunculan dari setiap pendukung paslon. Hingga menyebut kaum munafik jika tidak memilih paslon yang ia kehendaki. Padahal ini merupakan sebuah cara pandang interpretasi setiap individu menentukan hak suaranya secara bijaksana. Dan hal ini sudah menjadi kebudayaan kita saat ini.
            Ironi ketika gerakan Islam akun-akunan yang menguasai berbagai media sosial untuk membangun opini masyarakat kita saat ini. Tidak ada bedanya antara kaum akademisi dan kaum fanatisme yang sudah akut pada paslonnya. Yang lebih bahaya lagi adalah ia yang dirasa memiliki pengaruh untuk dimintai pendapatnya oleh masyarakat umum terlalu fanatisme dengan paslonnya dan menggunakan dalil-dalil agama secara liberal untuk menambahkan elektabilitas paslonnya.
            Ahmad Syafii Maarif dalam Politik Identitas dan Masa Depan Plurasime membuat sedikit celah untuk menelaah apakah dalam berpolitik hari ini agama dijadikan sebuah candu ala pemikiran Karl Marx atau tidak. Katanya politik Identitas itu merupakan sebuah narasi resisten kelompok terpinggirkan untuk menghadirkan wahana mediasi. Politik identitas ini berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan ‘kekitaan’ yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Kasus pemilihan gubernur DKI Jakarta kala itu sangat transparan memainkan politik identitas yang berdalih agama. Hal ini dirasa sah san boleh, namun saat ini kasus ini sangat terlalu berlebihan seperti bersandiwara di atas panggung pertunjukan teater. Hanya karna berbeda cara pandang terhadap paslon dengan dalih agama kita bisa di klaim sebagai orang yang tidak peduli pada agama.
            Pemikiran Karl Marx yang lebih membuka kemungkinan bahwa agama merupakan sebuah candu. Lebih hemat bahwa agama dijadikan alat legitimasi kekuasaan untuk meraih materi yang di capai. Meski banyak pelaku politik praktis yang membantah bahwa kepentingannya seutuhnya untuk membela negara dan agama. Namun realitanya menurut banyak catatan sejarah agama dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Seperti pada era bu Megawati kala itu, banyak yang menggunakan dalil bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin, dan banyak kasus lainnya termasuk pemilihan gubernur DKI Jakarta kala itu.
            Mari kita gunakan akal sehat kita sekaligus budi sehat kita untuk menyatukan negeri ini. Berbeda paslon adalah hal yang wajar. Mari kita tebar narasi perdamaian untuk memeriahkan 17 april mendatang untuk Indonesia yang lebih bermartabat dan untuk bangsa kita. Wallahualam.

Post a Comment

0 Comments